Perpustakaan Fakultas Kehutanan UGM
Image by Cool Text: Free Logos and Buttons - Create An Image Just Like This Perpustakaan Fakultas Kehutanan UGM: 2013

Terungkapnya Kasus Suap Alih Fungsi Hutan Lindung Tunjukkan Sistem KPK Berjalan Baik


Setyo Rahardjo - 16 Apr 2008

Tertangkapnya Al Amin Nasution, seorang anggota Komisi IV DPR RI, terkait kasus suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, merupakan salah satu bukti sistem di dalam organisasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah berjalan dengan baik. Karena sistem di KPK yang sudah berjalan inilah, maka Ketua KPK baru yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan memiliki tugas untuk meredam KPK agar tidak galak-galak akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa.
Demikian disampaikan oleh Koordinator Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), S. Indro Tjahyono, kepada beritabumi.or.id pada Selasa (15/4) menanggapi kasus suap yang melibatkan wakil rakyat tersebut.
Yang dimaksud oleh Tjahyono tidak galak-galak adalah agar Ketua KPK yang baru ini bisa menjembatani anak buahnya agar tidak terlalu proaktif membidik para anggota DPR terkait berbagai kasus suap. Apalagi para anggota dewan akhir-akhir ini menjadi bidikan KPK, terutama terkait kasus penyelesaian dana BLBI yang diperkirakan banyak mengalir ke kantong para anggota DPR RI.
Ketika disinggung apakah Al Amin Nasution ini bermain sendiri dalam kasus hutan lindung di Bintan ini, Tjahyono meragukannya. Menurutnya, Al Amin kemungkinan hanya menjadi wakil dari para anggota DPR yang lain untuk menerima uang tersebut. Kendati hingga kini Al Amin belum buka suara tentang apakah ia bekerja sendiri atau utusan dari Komisi IV, namun kemungkinan ia bermain sendiri sangat kecil.
Seperti diketahui bahwa Al Amin Nasution, seorang anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu tertangkap dalam sebuah penggerebekan yang dilakukan oleh KPK. Kala itu ia bersama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan, Azirwan, dan tiga orang lainnya sedang berada di dalam kamar sebuah hotel di Jakarta. Dari tangan Al Amin, KPK berhasil menyita uang sebesar Rp 71 juta dan 33.000 dolar Singapura.
Al Amin diduga menerima suap dari Sekda Bintan, Azirwan, untuk memperlancar pembahasan alih fungsi kawasan hutan lindung di Bintan yang akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Al Amin merupakan salah satu anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi masalah kehutanan.
Kasus alih fungsi hutan lindung di Bintan ini sebenarnya hanya satu dari sekian banyak kasus alih fungsi hutan yang terjadi selama ini. Kasus serupa telah terjadi sejak lama di sejumlah propinsi. Jadi sebenarnya kasus suap menyuap untuk pengalih-fungsian hutan sudah terjadi, namun baru kasus Al Amin ini yang terungkap atau diungkap.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Ir. Suswono, MMA, mengajak masyarakat untuk tidak memvonis Komisi IV DPR dan menganggap seluruh anggota komisi tersebut terlibat skandal suap.
”Silahkan KPK memproses kasus ini lebih lanjut jika menemukan bukti-bukti keterlibatan Al Amin ataupun anggota Komisi IV yang lain. Saya sendiri yakin bahwa jika ia (Al Amin, red) terbukti menerima suap, itu atas inisiatif secara pribadi,” ujarnya.
Keterlibatan Departemen Kehutanan
Ditanya tentang kemungkinan terlibatnya orang-orang di Departemen Kehutanan (Dephut), Tjahyono menyatakan bahwa sudah bukan rahasia lagi kasus suap untuk melicinkan proses alih fungsi hutan lindung menjadi hutan atau lahan produksi telah terjadi sejak lama dan pasti melibatkan orang dalam (Dephut).
“Bahkan para menteri (Menteri Kehutanan, red) ditengarai juga terlibat dalam berbagai kasus pelepasan atau alih fungsi hutan yang selama ini terjadi. Selain itu, selama ini juga sering terjadi penyimpangan dalam pemberian ijin hak pengusahaan hutan,” ujarnya.
Sebagai contoh, pada era Muslimin Nasution menjabat sebagai Menhut, dalam waktu kurang dari satu bulan, Departemen Kehutanan mengeluarkan ijin HPH lebih dari 70 buah.
Lebih lanjut Tjahyono menjelaskan bahwa Muslimin Nasution pernah mengeluarkan 61 ijin HPH dalam sehari. Dan dari sekitar 70-an ijin HPH yang dikeluarkan pada bulan Oktober 1999 itu, 17 % atau sekitar 13 buah tidak memiliki nomor surat keputusan. Hal ini mengindikasikan terjadinya penyimpangan administrasi yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan yang kala itu dipimpin oleh Muslimin Nasution.
“Bahkan kami (SKEPHI) sudah mengadukan indikasi korupsi atau pelanggaran/ penyimpangan administrasi ini kepada KPK. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya,” terang Tjahyono.

Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0052&ikey=1

Selamatkan Hutan Lewat Program Adopsi Pohon

Setyo Raharjo
Conservation International Indonesia bekerjasama dengan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan juga Green Radio mengadakan program adopsi pohon. Pohon adopsi tersebut akan ditanam di lokasi perluasan TNGGP, yang totalnya kurang lebih 7.000 hektar (ha) meliputi wilayah Sukabumi kurang lebih 2.500 ha, wilayah Cianjur 3.000 ha dan sisanya wilayah Bogor kurang lebih 1.500 ha. Areal perluasan TNGGP sebelumnya merupakan kawasan hutan yang statusnya hutan produksi yang dikelola oleh Perum Perhutani dengan kondisi yang sudah terdegradasi karena eksploitasi hutan dan juga karena pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat.
”Program ini tak hanya terbuka untuk masyarakat umum tetapi juga private sector yang peduli lingkungan dan ingin berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi,” ujar Regional Vice President Conservation International Indonesia, Jatna Supriatna, dalam siaran persnya, Sabtu (19/4).
Menurutnya, melalui program ini tidak hanya banjir yang dapat dicegah tetapi juga menyelamatkan owa jawa yang populasinya semakin terancam karena kerusakan habitat.
Program ini dilaksanakan atas kenyataan bahwa rusaknya daerah resapan air di kawasan hulu sungai dan daerah tangkapan air mengakibatkan sekitar 60 persen wilayah di Jakarta tergenang banjir. Berdasarkan hasil penelitian, curah hujan yang terjadi di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung Hulu dan Tengah yang sumbernya berasal dari kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan kawasan hutan sekitarnya, ternyata memberikan kontribusi banjir di daerah hilir (Jakarta) sebesar masing-masing 51% dan 49%.
“Kembali pada ingatan kita tentang peristiwa banjir Jakarta tahun 2006 lalu yang menyebabkan 50 orang meninggal dunia dan 512,170 kehilangan tempat tinggal. Kerugian materiil dari bencana ini mencapai angka 8,8 trilyun rupiah, belum lagi penyakit yang timbul pasca bencana,” katanya.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Dr. Bambang Sukmananto, mengatakan bahwa sudah saatnya kita berkolaborasi dengan semua pihak yang peduli lingkungan demi menyelamatkan ekosistem hutan hujan tropika di Jawa melalui restorasi ekosistem Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Para pihak yang dimaksud di antaranya adalah kalangan LSM, organisasi politik, masyarakat internasional dan masyarakat di Jakarta khususnya yang sudah bosan terkena banjir tahunan.
“Dengan berpartisipasi dalam program adopsi pohon ini, anda sudah dapat menolong masyarakat sekitar hutan juga masyarakat Jakarta dari penderitaan banjir,” lanjut Sukmananto.
Dalam siaran pers tersebut juga dikatakan bahwa sebagai debut pada program adopsi pohon ini, empat menteri perempuan juga sudah berkomitmen untuk mengadopsi pohon, yaitu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Deputi Gubernur Bank Indonesia Miranda Gultom, yang masing-masing mengadopsi lima hektar. Turut berpartisipasi pula dalam program ini, Megawati Sukarnoputri (Mantan Presiden RI) melalui kader-kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengadopsi 10 hektar. Program ini juga mendapat dukungan penuh dari Medco Foundation.
Penanaman pohon ini dilaksanakan mulai hari Sabtu, tanggal 19 April 2008 di desa Nanggerang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jenis-jenis pohon yang akan ditanam adalah Rasamala, Puspa, Manglid, Suren dan Cempaka. Jenis pohon tersebut adalah pohon asli yang sudah ada di dalam TNGGP sebelumnya.
“Langkah kecil dalam penyelamatan lingkungan ini perlu ditiru bagi setiap orang atau organisasi, perusahaan yang peduli terhadap pelestarian bumi, kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan hidup spesies di TNGGP,” tegasnya.
Masyarakat umum juga bisa menjadi bagian dari program adopsi pohon ini dengan cara menyumbangkan uang sebesar Rp. 3.000 perbulan untuk 1 pohon melalui Green Radio yang rencananya akan mengadopsi lima hektar area di TNGGP untuk dijadikan kawasan Hutan Sahabat Green. Dengan  3.000 rupiah sebulan atau 108.000 rupiah untuk masa perawatan tiga tahun, anda dapat memiliki 1 pohon atas nama anda di Hutan Sahabat Green.
Sekilas TNGGP
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia. Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Saat ini, dengan luas 21.975 hektar, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan tropis pegunungan, hanya berjarak dua jam (100 km) dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGGP dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp); berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur bercahaya.
Disamping keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih dari 100 jenis mamalia seperti macan tutul jawa, kijang, pelanduk, anjing hutan, sigung, dan lainnya serta sekitar 250 jenis burung termasuk elang jawa dan berbagai jenis élang lainnya. Kawasan ini juga merupakan habitat bagi owa jawa, surili, kukang dan lutung yang populasinya semakin mendekati kepunahan. Ketika anda hiking di kawasan TNGGP, anda dapat menikmati keindahan ekosistem hutan hujan tropis Indonesia (Sumber: www.gedepangrango.org).

Tjahyono: Kasus Adelin Lis, karikatur dari kejahatan korporasi di hutan


Setyo Rahardjo
Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita yang selama ini mengamati dan pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu, sebenarnya dalam kontek tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya “karikatur” yang muncul sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang dibebaskan juga.
Demikian disampaikan oleh Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro Tjahyono, dalam suatu dialog bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang diadakan di Mario’s Place Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).
Menurutnya, makna karikatur ini menunjukkan bahwa pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity) untuk dituntut. Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk menjaring pencuri-pencuri kayu ini sehingga bisa dituntut dan dijebloskan ke penjara.
"Ada sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur” dari satu kejahatan korporasi (corporate crime). Jadi mereka mengikutkan juga elemen politik (orang-orang politik), elemen kekuatan senjata (TNI – Polri), elemen lembaga peradilan. Jadi ada mafia peradilan yang sebenarnya bersekongkol untuk mempertahankan pencurian-pencurian kayu, karena dia memang instrumen dari pencuri kayu itu sendiri," ujarnya.
Ia kemudian memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di Jawa seperti yang terjadi di Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan bahwa mafia pencuri kayu jati itu bahkan punya jaringan sampai pengadilan. Jadi promosi hakim, promosi jaksa di pengadilan negeri itu dikuasai mereka. Sehingga jaksa yang berusaha menuntut berat pencuri kayu itu bisa dipindah.
Dalam kaitannya dengan kasus bebasnya Adelin Lis ini, Tjahyono ingin membuktikan pernyataannya bahwa memang mafia peradilan ini lebih memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis dibebaskan, hakim yang membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya merupakan rekayasa birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu hakim juga langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat hakimnya jadi buyar," katanya.
Dengan demikian menurutnya, pengadilan sudah dikuasai oleh pencuri kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi ke semua. Begitu pun banyak pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh lembaganya mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan hingga ke penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang banyak, sampai 25 persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada 0,1 persen dan hasilnya bebas.
"Inikan quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya akan kembali bahwa masalahnya bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya adalah hukum sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur apa," tegasnya setengah bertanya.
Dari sinilah dapat dijumpai ada tidaknya faktor kemauan politik (political will). Baik dari pemerintah atau masyarakat, untuk memberantas pencuri kayu dan menciptakan hukum yang memang bisa menangkal berbagai pencurian kayu.
Hukum di negeri ini sedang dicoba diciptakan untuk membiarkan pencuri kayu antara lain dengan adanya dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi administratif itu mempunyai keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota lembaga apa pun telah membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana. Ini harus ada batasannya.
"Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba memberi perbedaan yang jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang terjadi ya seperti sekarang ini," katanya.
Sementara itu Departemen Kehutanan merasa bahwa semua pelanggaran HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa didenda, padahal bisnis denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok. Bahkan diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri kayu.
 Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0009&ikey=1

Cegah Kerusakan Hutan dengan KLHS



Tim Redaksi
Terkait dengan perubahan peruntukan kawasan hutan, yang merupakan bagian dari perencanaan tata ruang, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan bahwa untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan ditetapkan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Demikian menurut Gusti Muhammad Hatta, sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam sambutannya saat dialog interaktif sebagai rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni dengan tema “Hutan sebagai Penyangga Kehidupan” di Jakarta (3/6).
Sesuai dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, KLHS adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program.
Hutan yang ada di wilayah Indonesia telah mendapatkan tekanan dari berbagai kegiatan, temasuk kegiatan pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin luasnya hutan yang mengalami perubahan fungsi maupun peruntukkan.
Menurut data dari Statistik Kehutanan tahun 2008, laju deforestasi 7 (tujuh) pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun 2000-2005 rata-rata sebesar 1,09 juta hektar/tahun. Angka deforestasi hutan di dalam dan di luar kawasan hutan pada periode 2003-2006 sebesar 1.174.068,0 hektar/tahun. Sementara itu, perubahan fungsi kawasan hutan sampai dengan tahun 2008 mencapai 3.200.463,07 hektar.
Dengan alasan peningkatan pertumbuhan ekonomi, salah satu upaya yang seringkali dilakukan adalah perubahan fungsi hutan untuk kegiatan lain yang dinilai dapat memberikan pendapatan yang lebih besar, antara lain untuk kegiatan perkebunan, pertambangan, permukiman atau pariwisata. Kegiatan peningkatan perekonomian tersebut seringkali menimbulkan masalah perubahan fungsi lahan yang menabrak kawasan hutan terutama kawasan konservasi, tumpang tindih perizinan penggunaan lahan, atau dampak kerusakan lingkungan hidup.
Tentunya kita tidak bermaksud menghambat kegiatan pembangunan yang pada dasarnya dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat, namun kita perlu saling mengingatkan, bahwa berdasarkan fungsinya, baik untuk tata air, keseimbangan ekosistem maupun pengendali perubahan iklim, hutan perlu kita lestarikan. Sehingga kita perlu mengupayakan, agar kegiatan pembangunan yang kita jalankan dapat selalu sinergi dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup,” kata Gusti Muhammad Hatta.
Sony Keraf sebagai ahli lingkungan hidup dan mantan Menteri Lingkungan Hidup, mengatakan bahwa perangkat preventif diperlukan terhadap potensi dampak negatif yang dapat timbul sebagai konsekuensi dari pembangunan. Potensi dampak negatif dapat timbul tidak hanya dari kegiatan usaha, tetapi lebih jauh ke hulu, dapat timbul dari kebijakan, rencana atau program yang dikembangkan. Potensi dampak negatif itu harus dicegah sejak dari penyusunan kebijakan, rencana dan atau program.
Menurutnya, proses analisis KLHS dapat terintegrasi dalam proses analisis kegiatan penyusunan kebijakan itu sendiri. Sebagai bagian dari proses perbaikan kebijakan dan perencanaan, KLHS dilakukan oleh pembuat kebijakan itu sendiri, dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Apabila hasil KLHS menunjukkan bahwa kebijakan, rencana dan atau program berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, maka kebijakan, rencana dan atau program tersebut wajib diperbaiki,” tegasnya.
Dijelaskannya bahwa kebijakan perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan suatu kebijakan yang berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Fungsi hutan yang kompleks mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam ekonomi, sosial budaya, jasa lingkungan dengan menjaga sumber daya air, hayati, perubahan iklim dan sebagainya, dibandingkan dengan kegiatan lain seperti tambang yang hanya bernilai ekonomi saja.
Perencanaan dan penyusunan kebijakan KLHS ini penting untuk mencegah terjadinya tumpang tindihnya kebijakan yang seringkali terjadi selama ini. Menurut Hariadi Kartodihardjo sebagai ahli kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), sekitar 60 persen kesalahan dalam pengelolaan sumber daya hutan karena kebijakan bukan ulah perusahaan. Sehingga yang bisa dilakukan yaitu harmonisasi Undang-Undang Tata Ruang, Kehutanan dan Perda, penyelesaian administrasi legalitas pemanfaatan lahan dan hutan serta klasifikasi data yang ada.

Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0383&ikey=1 

Hak Kepemilikan Hutan Tingkatkan Kehidupan Masyarakat

Disarikan Ani Purwati - 21 Jul 2011
Mereformasi sistem kepemilikan hutan dan mengamankan hak kepemilikan hutan, secara signifikan dapat meningkatkan mata pencaharian masyarakat dan memungkinkan mereka untuk memperoleh pendapatan dari produk hutan. Demikian menurut FAO dalam panduan yang baru diterbitkan, Reforming Forest Tenure.

"Permintaan
lahan yang terus menerus, pemerintahan yang lemah di banyak negara, dan tantangan global yang muncul seperti perubahan iklim meningkatkan desakan untuk menyikapi reformasi kepemilikan hutan," kata Eva Muller, Kepala Bidang Kebijakan Hutan FAO di Roma 13 Juli 2011.
Panduan ini diluncurkan pada Konferensi Tata Kelola Hutan di Lombok, Indonesia, 11-15Juli. Dihadiri oleh sekitar 200 perwakilan dari organisasi internasional dan regional, sektor swasta,organisasi non-pemerintah, masyarakat sipil dan peneliti.  Konferensi ini diselenggarakan bersama oleh Departemen Kehutanan Indonesia, Organisasi Kayu Tropis Internasional (International Tropical Timber Organization - ITTO) dan Rights and Resources Initiative (RRI).

Dalam beberapa tahun terakhir, FAO
telah melakukan penilaian yang luas terhadap sistem kepemilikan hutan di Afrika, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Asia Tengah serta dampaknya pada pengelolaan hutan berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Berdasarkan analisis ini, panduan ini menawarkan panduan praktis bagi para pembuat kebijakan yang terlibat  dalam reformasi kepemilikan hutan.
Kepemilikan Negara Atas Hutan di Dunia            
 
Menurut FAO, sekitar 80 persen dari hutan dunia adalah milik publik, tetapi kepemilikan dan pengelolaan hutan oleh masyarakat, individu dan perusahaan swasta terus meningkat
.

Di Venezuela dan French Guiana, misalnya, hampir semua hutan di bawah kepemilikan publik, sedangkan di Paraguay, Honduras, Guatemala,
Costa Rika dan Chile lebih dari 30 persen hutan berada di bawah kepemilikan pribadi. Di Peru, Guyana dan Costa Rika, lebih dari sepuluh persen hutan dimiliki oleh masyarakat adat.

"Sebuah sistem kepemilikan lebih beragam dapat mengakibatkan
peningkatan pengelolaan hutan dan mata pencaharian lokal, terutama dimana kapasitas negara untuk mengelola hutan lemah," kata Muller.
Dimensi Gender dan Hak Sosial                                                  
Reformasi kepemilikan hutan harus memberikan perhatian terhadap pemberdayaan kelompok marjinal, terutama perempuan dan orang miskin. Penelitian menunjukkan bahwa pohon dan hutan lebih penting untuk kehidupan perempuan pedesaan daripada laki-laki. Perempuan miskin di satu komunitas Madagaskar mendapatkan 37 persen dari pendapatan mereka dari hasil hutan, dibandingkan dengan 22 persen laki-laki. Di beberapa daerah Andhra Pradesh, 77persen dari pendapatan perempuan berasal dari hutan.

Hutan dapat
menjadi sangat penting bagi strategi kelangsungan hidup perempuan di pertanian.Di sub-Sahara Afrika, tanggung jawab untuk merawat anggota rumah  tangga menderita HIV/AIDS terutama pada perempuan, membuat mereka meyediakan sedikit waktu untuk produksi pertanian. Akibatnya, mereka menjadi lebih bergantung pada sumber makanan dari hutan dan pendapatan dari kayu bakar.
Mengaktifkan Lingkungan

Muller menekankan, tanpa kebijakan untuk mengaktifkan lingkungan, reformasi kepemilikan hutan tidak mungkin memberikan hasil sosio-ekonomi menguntungkan. Pemangku kepentingan utama harus aktif mengelola hutan baik untuk meningkatkan mata pencaharian maupun kondisi hutan. Kepemilikan hutan harus seaman mungkin, dan overregulation harus dihindari dengan menjaga kepatuhan prosedur sederhana. Legislasi harus dibarengi dengan tata pemerintahan yang bertanggung jawab di semua tingkat, termasuk lembaga pemerintah, sektor swasta dan masyarakat.
Pengakuan Hak-Hak Adat

Sebagian besar hutandi seluruh dunia telah digunakan, dikelola dan dimiliki bahkan atas dasar kepemilikan tradisional atau adat. Sistem kepemilikan informal sering beroperasi secara paralel dengan kepemilikan hukum. Dalam kasus seperti masyarakat lokal menganggap hutan dan hasil hutan sebagai milik orang-orang tertentu atau kelompok, terlepas dari apakah hak-hak telah diakui oleh pemerintah atau tidak.

Kepemilikan
informal dapat menjadi efektif, kecuali kepentingan lain, seperti privatisasi atau konversi lahan menjadi penggunaan lain melanggar batas, yang sering terjadi dalam konflik dan sering menyebabkan degradasi hutan. Reformasi kepemilikan harus mempertimbangkan sistem penguasaan pertimbangan adat yang tidak dilindungi hukum.

Menhut Bangun SMS Kebangsaan Di Lampung

Sumber : Media Indonesia 13 April 2013, hal 15 kol 3

kerusakan Hutan Mangrove

Sumber : Kompas 20 april 2013 hal 13 kol 1

Perlu Edukasi Cegah Ancaman Spesies Asing

Sumber : Kompas, 20 april 2013 hal 13 kol 2

Kayu Ilegal 2 Pengusaha Jadi tersangka

Sumber : Kompas 20 April 2013 hal 22 kol 1

Kebakaran Hutan Jateng Targetkan Turunkan Titik api

Sumber : Kompas 16 April 2013 hal 24 kol 5

Harga Kulit Kayu manis Di Jambi Belum Pulih

Sumber : Kompas 16 April 2013 hal 24 kol 1

Suaka Badak Jawa Mulai Digarap Lagi

Sumber : Kompas 15 Aril 2013 hal 13 kol 2

Pelepasliaran OrangUtan

Sumber : Kompas 15 april 2013 hal 13 kol 1

Kehutanan Moratorium Tak Hambat Pertumbuhan

Sumber : Kompas 12 april 2013 hal 18 kol 3

Pohon Yang Dinyatakan Punah Ditemukan Lagi

Sumber : Kompas 11 april 2013 hal 13 kol 2

Burung Kasturi Sulawesi

Sumber : Kompas 11 April 2013 hal 14 kol 3

Konservasi BKSDA Kaltim Sita 7 Burung Paruh Bengok

Sumber : Kompas 11 april 2013 hal 14 kol 3

Daerah Aliran Sungai Ada Model Pengelolaan Yang Bisa Dicontoh

Sumber : Kompas 11 April 2013 hal 14 kol 1

Macan Tutul

Sumber : Kompas, 6 April 2013 hal 14 kol 1

Regulasi Kehutanan Warga Terancam RUU P2H Ditolak

Sumber : Kompas 6 April 2013 hal 14 kol 1

Konflik satwa Hutan Luas Dijambi Hanya Diatas Kertas

Sumber : Kompas 6 april 2013 hal 22 kol 1

Kehutanan 2.500 Desa Ancam Gugat Menhut

Sumber : Kompas, 6 april 2013 hal 24 kol 3

Dua Ekor

Sumber : Kompas , 6 april 2013 hal 13 kol 5

Badak Jawa Pemerintah Cari Habitat Kedua Di Jawa

Sumber : Kompas, 6 april 2013 hal 13 kol 5

Pameran Kehutanan

Sumber : Kompas 5 april 2013 hal 12 kol 2