Kompas 27 Juli 2013
Terungkapnya Kasus Suap Alih Fungsi Hutan Lindung Tunjukkan Sistem KPK Berjalan Baik
Setyo Rahardjo - 16 Apr 2008
Demikian
disampaikan oleh Koordinator Jaringan Kerjasama Pelestarian Hutan
Indonesia (SKEPHI), S. Indro Tjahyono, kepada beritabumi.or.id pada
Selasa (15/4) menanggapi kasus suap yang melibatkan wakil rakyat
tersebut.
Yang dimaksud oleh Tjahyono tidak
galak-galak adalah agar Ketua KPK yang baru ini bisa menjembatani anak
buahnya agar tidak terlalu proaktif membidik para anggota DPR terkait
berbagai kasus suap. Apalagi para anggota dewan akhir-akhir ini menjadi
bidikan KPK, terutama terkait kasus penyelesaian dana BLBI yang
diperkirakan banyak mengalir ke kantong para anggota DPR RI.
Ketika disinggung apakah Al Amin Nasution ini bermain sendiri dalam kasus hutan lindung di Bintan ini, Tjahyono
meragukannya. Menurutnya, Al Amin kemungkinan hanya menjadi wakil dari
para anggota DPR yang lain untuk menerima uang tersebut. Kendati hingga
kini Al Amin belum buka suara tentang apakah ia bekerja sendiri atau
utusan dari Komisi IV, namun kemungkinan ia bermain sendiri sangat
kecil.
Seperti diketahui bahwa Al Amin Nasution, seorang anggota DPR RI dari Fraksi PPP itu tertangkap dalam sebuah penggerebekan yang dilakukan oleh KPK. Kala
itu ia bersama Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bintan, Azirwan, dan
tiga orang lainnya sedang berada di dalam kamar sebuah hotel di
Jakarta. Dari tangan Al Amin, KPK berhasil menyita uang sebesar Rp 71
juta dan 33.000 dolar Singapura.
Al
Amin diduga menerima suap dari Sekda Bintan, Azirwan, untuk
memperlancar pembahasan alih fungsi kawasan hutan lindung di Bintan yang
akan dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Al Amin merupakan salah satu anggota Komisi IV DPR RI yang membidangi masalah kehutanan.
Kasus
alih fungsi hutan lindung di Bintan ini sebenarnya hanya satu dari
sekian banyak kasus alih fungsi hutan yang terjadi selama ini. Kasus
serupa telah terjadi sejak lama di sejumlah propinsi. Jadi sebenarnya
kasus suap menyuap untuk pengalih-fungsian hutan sudah terjadi, namun
baru kasus Al Amin ini yang terungkap atau diungkap.
Sementara
itu, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI dari Fraksi PKS, Ir. Suswono, MMA,
mengajak masyarakat untuk tidak memvonis Komisi IV DPR dan menganggap
seluruh anggota komisi tersebut terlibat skandal suap.
”Silahkan
KPK memproses kasus ini lebih lanjut jika menemukan bukti-bukti
keterlibatan Al Amin ataupun anggota Komisi IV yang lain. Saya sendiri
yakin bahwa jika ia (Al Amin, red) terbukti menerima suap, itu atas
inisiatif secara pribadi,” ujarnya.
Keterlibatan Departemen Kehutanan
Ditanya tentang kemungkinan terlibatnya orang-orang di Departemen Kehutanan (Dephut), Tjahyono
menyatakan bahwa sudah bukan rahasia lagi kasus suap untuk melicinkan
proses alih fungsi hutan lindung menjadi hutan atau lahan produksi telah
terjadi sejak lama dan pasti melibatkan orang dalam (Dephut).
“Bahkan
para menteri (Menteri Kehutanan, red) ditengarai juga terlibat dalam
berbagai kasus pelepasan atau alih fungsi hutan yang selama ini terjadi.
Selain itu, selama ini juga sering terjadi penyimpangan dalam pemberian
ijin hak pengusahaan hutan,” ujarnya.
Sebagai
contoh, pada era Muslimin Nasution menjabat sebagai Menhut, dalam waktu
kurang dari satu bulan, Departemen Kehutanan mengeluarkan ijin HPH
lebih dari 70 buah.
Lebih lanjut Tjahyono
menjelaskan bahwa Muslimin Nasution pernah mengeluarkan 61 ijin HPH
dalam sehari. Dan dari sekitar 70-an ijin HPH yang dikeluarkan pada
bulan Oktober 1999 itu, 17 % atau sekitar 13 buah tidak memiliki nomor
surat keputusan. Hal ini mengindikasikan terjadinya penyimpangan
administrasi yang dilakukan oleh Departemen Kehutanan yang kala itu
dipimpin oleh Muslimin Nasution.
“Bahkan kami (SKEPHI) sudah mengadukan indikasi korupsi atau pelanggaran/ penyimpangan administrasi ini kepada KPK. Namun hingga saat ini belum ada tindak lanjutnya,” terang Tjahyono.Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0052&ikey=1
Selamatkan Hutan Lewat Program Adopsi Pohon
Setyo Raharjo
”Program ini tak hanya terbuka untuk masyarakat umum tetapi juga private sector yang peduli lingkungan dan ingin berpartisipasi dalam menyelamatkan bumi,” ujar Regional Vice President Conservation International Indonesia, Jatna Supriatna, dalam siaran persnya, Sabtu (19/4).
Menurutnya,
melalui program ini tidak hanya banjir yang dapat dicegah tetapi juga
menyelamatkan owa jawa yang populasinya semakin terancam karena
kerusakan habitat.
Program
ini dilaksanakan atas kenyataan bahwa rusaknya daerah resapan air di
kawasan hulu sungai dan daerah tangkapan air mengakibatkan sekitar 60
persen wilayah di Jakarta tergenang banjir. Berdasarkan hasil
penelitian, curah hujan yang terjadi di kawasan Daerah Aliran Sungai
(DAS) Ciliwung Hulu dan Tengah yang sumbernya berasal dari kawasan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango dan kawasan hutan sekitarnya, ternyata
memberikan kontribusi banjir di daerah hilir (Jakarta) sebesar
masing-masing 51% dan 49%.
“Kembali
pada ingatan kita tentang peristiwa banjir Jakarta tahun 2006 lalu yang
menyebabkan 50 orang meninggal dunia dan 512,170 kehilangan tempat
tinggal. Kerugian materiil dari bencana ini mencapai angka 8,8 trilyun
rupiah, belum lagi penyakit yang timbul pasca bencana,” katanya.
Sementara itu, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Dr. Bambang Sukmananto, mengatakan bahwa sudah
saatnya kita berkolaborasi dengan semua pihak yang peduli lingkungan
demi menyelamatkan ekosistem hutan hujan tropika di Jawa melalui
restorasi ekosistem Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Para
pihak yang dimaksud di antaranya adalah kalangan LSM, organisasi
politik, masyarakat internasional dan masyarakat di Jakarta khususnya
yang sudah bosan terkena banjir tahunan.
“Dengan
berpartisipasi dalam program adopsi pohon ini, anda sudah dapat
menolong masyarakat sekitar hutan juga masyarakat Jakarta dari
penderitaan banjir,” lanjut Sukmananto.
Dalam
siaran pers tersebut juga dikatakan bahwa sebagai debut pada program
adopsi pohon ini, empat menteri perempuan juga sudah berkomitmen untuk
mengadopsi pohon, yaitu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, Menteri
Perdagangan Marie Elka Pangestu, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan
Meutia Hatta, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Deputi Gubernur
Bank Indonesia Miranda Gultom, yang masing-masing mengadopsi lima
hektar. Turut berpartisipasi pula dalam program ini, Megawati Sukarnoputri (Mantan Presiden RI) melalui kader-kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mengadopsi 10 hektar. Program ini juga mendapat dukungan penuh dari Medco Foundation.
Penanaman pohon ini dilaksanakan mulai hari Sabtu, tanggal 19 April 2008 di desa Nanggerang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Jenis-jenis pohon yang
akan ditanam adalah Rasamala, Puspa, Manglid, Suren dan Cempaka. Jenis
pohon tersebut adalah pohon asli yang sudah ada di dalam TNGGP
sebelumnya.
“Langkah
kecil dalam penyelamatan lingkungan ini perlu ditiru bagi setiap orang
atau organisasi, perusahaan yang peduli terhadap pelestarian bumi,
kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan hidup spesies di TNGGP,”
tegasnya.
Masyarakat
umum juga bisa menjadi bagian dari program adopsi pohon ini dengan cara
menyumbangkan uang sebesar Rp. 3.000 perbulan untuk 1 pohon melalui
Green Radio yang rencananya akan mengadopsi lima hektar area di TNGGP
untuk dijadikan kawasan Hutan Sahabat Green. Dengan 3.000
rupiah sebulan atau 108.000 rupiah untuk masa perawatan tiga tahun, anda
dapat memiliki 1 pohon atas nama anda di Hutan Sahabat Green.
Sekilas TNGGP
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) mempunyai peranan yang penting dalam sejarah konservasi di Indonesia.
Ditetapkan sebagai taman nasional pada tahun 1980. Saat ini, dengan
luas 21.975 hektar, kawasan Taman Nasional ini ditutupi oleh hutan hujan
tropis pegunungan, hanya berjarak dua jam (100 km) dari Jakarta. Di dalam kawasan hutan TNGGP dapat ditemukan “si pohon raksasa” Rasamala, “si pemburu serangga” atau kantong semar (Nephentes spp);
berjenis-jenis anggrek hutan, dan bahkan ada beberapa jenis tumbuhan
yang belum dikenal namanya secara ilmiah, seperti jamur bercahaya.
Disamping
keunikan tumbuhannya, kawasan TNGGP juga merupakan habitat dari
berbagai jenis satwa liar, seperti kepik raksasa, sejenis kumbang, lebih
dari 100 jenis mamalia seperti macan tutul jawa, kijang, pelanduk,
anjing hutan, sigung, dan lainnya serta sekitar 250 jenis burung
termasuk elang jawa dan berbagai jenis élang lainnya. Kawasan ini juga
merupakan habitat bagi owa jawa, surili, kukang dan lutung yang
populasinya semakin mendekati kepunahan. Ketika anda hiking di kawasan TNGGP, anda dapat menikmati keindahan ekosistem hutan hujan tropis Indonesia (Sumber: www.gedepangrango.org).
Tjahyono: Kasus Adelin Lis, karikatur dari kejahatan korporasi di hutan
Setyo Rahardjo
Dibebaskannya Adelin Lis bagi kita yang selama ini mengamati dan
pernah melakukan studi mengenai pencurian kayu, sebenarnya dalam kontek
tradisi pengadilan pencuri kayu, Adelin Lis ini hanya “karikatur” yang
muncul sekarang. Sementara selama ini banyak pencuri kayu yang
dibebaskan juga.
Demikian disampaikan oleh Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian
Hutan Indonesia (SKEPHI), Ir. S. Indro Tjahyono, dalam suatu dialog
bertema “Hutan Kau Babat, Kau Ku Bebaskan”, yang diadakan di Mario’s
Place Menteng Huis, pada Sabtu (10/11).
Menurutnya, makna karikatur ini menunjukkan bahwa pencuri-pencuri kayu ini mempunyai kekebalan hukum (impunity)
untuk dituntut. Ini karena hukum yang ada tidak berusaha untuk
menjaring pencuri-pencuri kayu ini sehingga bisa dituntut dan
dijebloskan ke penjara.
"Ada sesuatu yang saya katakan bahwa inilah “karikatur” dari satu kejahatan korporasi (corporate crime).
Jadi mereka mengikutkan juga elemen politik (orang-orang politik),
elemen kekuatan senjata (TNI – Polri), elemen lembaga peradilan. Jadi
ada mafia peradilan yang sebenarnya bersekongkol untuk mempertahankan
pencurian-pencurian kayu, karena dia memang instrumen dari pencuri kayu
itu sendiri," ujarnya.
Ia kemudian memberikan contoh kasus pencurian kayu jati di Jawa
seperti yang terjadi di Blora, Blitar, atau di Caruban yang menunjukkan
bahwa mafia pencuri kayu jati itu bahkan punya jaringan sampai
pengadilan. Jadi promosi hakim, promosi jaksa di pengadilan negeri itu
dikuasai mereka. Sehingga jaksa yang berusaha menuntut berat pencuri
kayu itu bisa dipindah.
Dalam kaitannya dengan kasus bebasnya Adelin Lis ini, Tjahyono ingin
membuktikan pernyataannya bahwa memang mafia peradilan ini lebih
memihak pencuri kayu. Di antaranya begitu Adelin Lis dibebaskan, hakim
yang membebaskan Adelin Lis langsung naik pangkat.
"Bahkan kenaikan pangkat itu kelihatannya merupakan rekayasa
birokrasi, karena selain dinaikkan pangkatnya, salah satu hakim juga
langsung dipindahkan ke Bengkulu. Ini dilakukan untuk membuat hakimnya
jadi buyar," katanya.
Dengan demikian menurutnya, pengadilan sudah dikuasai oleh pencuri
kayu itu, karena mereka mesti bagi-bagi ke semua. Begitu pun banyak
pejabat di sana yang ditentukan oleh Adelin Lis.
Ia juga menjelaskan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh
lembaganya mengenai kasus-kasus pencurian kayu, yang masuk ke pengadilan
hingga ke penuntutan itu hanya 0,1 persen. Kalau penyidikan memang
banyak, sampai 25 persen yang masuk, tapi ketika penuntutan hanya ada
0,1 persen dan hasilnya bebas.
"Inikan quo-vadis dari lembaga peradilan kita, dan saya akan kembali
bahwa masalahnya bukan dihukumnya itu sendiri. Masalahnya adalah hukum
sebagai instrumen untuk mengatur sesuatu, tetapi mengatur apa," tegasnya
setengah bertanya.
Dari sinilah dapat dijumpai ada tidaknya faktor kemauan politik (political will).
Baik dari pemerintah atau masyarakat, untuk memberantas pencuri kayu
dan menciptakan hukum yang memang bisa menangkal berbagai pencurian
kayu.
Hukum di negeri ini sedang dicoba diciptakan untuk membiarkan
pencuri kayu antara lain dengan adanya dikotomi antara sanksi
administratif dan sanksi hukum. Padahal sanksi administratif itu
mempunyai keterbatasan, yakni ketika tindakan dari anggota lembaga apa
pun telah membahayakan publik, maka ini adalah urusan hukum pidana. Ini
harus ada batasannya.
"Kalau itu didiamkan dan DPR tidak mencoba memberi perbedaan yang
jelas antara sanksi administrasi dan sanksi hukum, yang terjadi ya
seperti sekarang ini," katanya.
Sementara itu Departemen Kehutanan merasa bahwa semua pelanggaran
HPH itu adalah sanksi administratif, dia bisa didenda, padahal bisnis
denda di Departemen Kehutanan itu sudah sangat jorok. Bahkan
diindikasikan sebagai alat memeras secara diam-diam pada para pencuri
kayu.
Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0009&ikey=1
Cegah Kerusakan Hutan dengan KLHS
Tim Redaksi
Terkait
dengan perubahan peruntukan kawasan hutan, yang merupakan bagian dari
perencanaan tata ruang, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan bahwa
untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan ditetapkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Demikian menurut Gusti Muhammad Hatta,
sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam sambutannya saat dialog
interaktif sebagai rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5
Juni dengan tema “Hutan sebagai Penyangga Kehidupan” di Jakarta (3/6).
Sesuai
dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, KLHS
adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi
dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
Hutan yang ada di wilayah Indonesia telah
mendapatkan tekanan dari berbagai kegiatan, temasuk kegiatan
pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin luasnya hutan yang
mengalami perubahan fungsi maupun peruntukkan.
Menurut
data dari Statistik Kehutanan tahun 2008, laju deforestasi 7 (tujuh)
pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa,
serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun 2000-2005 rata-rata
sebesar 1,09 juta hektar/tahun. Angka deforestasi hutan di dalam dan di
luar kawasan hutan pada periode 2003-2006 sebesar 1.174.068,0 hektar/tahun. Sementara itu, perubahan fungsi kawasan hutan sampai dengan tahun 2008 mencapai 3.200.463,07 hektar.
Dengan alasan
peningkatan pertumbuhan ekonomi, salah satu upaya yang seringkali
dilakukan adalah perubahan fungsi hutan untuk kegiatan lain yang dinilai
dapat memberikan pendapatan yang lebih besar, antara lain untuk
kegiatan perkebunan, pertambangan, permukiman atau pariwisata. Kegiatan peningkatan perekonomian tersebut seringkali menimbulkan masalah
perubahan fungsi lahan yang menabrak kawasan hutan terutama kawasan
konservasi, tumpang tindih perizinan penggunaan lahan, atau dampak
kerusakan lingkungan hidup.
“Tentunya
kita tidak bermaksud menghambat kegiatan pembangunan yang pada dasarnya
dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat, namun kita perlu saling
mengingatkan, bahwa berdasarkan fungsinya, baik untuk tata air,
keseimbangan ekosistem maupun pengendali perubahan iklim, hutan perlu
kita lestarikan. Sehingga
kita perlu mengupayakan, agar kegiatan pembangunan yang kita jalankan
dapat selalu sinergi dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup,” kata Gusti Muhammad Hatta.
Sony
Keraf sebagai ahli lingkungan hidup dan mantan Menteri Lingkungan
Hidup, mengatakan bahwa perangkat preventif diperlukan terhadap potensi
dampak negatif yang dapat timbul sebagai konsekuensi dari pembangunan. Potensi dampak negatif
dapat timbul tidak hanya dari kegiatan usaha, tetapi lebih jauh ke
hulu, dapat timbul dari kebijakan, rencana atau program yang
dikembangkan. Potensi dampak negatif itu harus dicegah sejak dari penyusunan kebijakan, rencana dan atau program.
Menurutnya, proses analisis KLHS dapat terintegrasi dalam proses analisis kegiatan penyusunan kebijakan itu sendiri. Sebagai
bagian dari proses perbaikan kebijakan dan perencanaan, KLHS dilakukan
oleh pembuat kebijakan itu sendiri, dengan melibatkan pemangku
kepentingan.
“Apabila hasil KLHS menunjukkan bahwa kebijakan, rencana dan atau program berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, maka kebijakan, rencana dan atau program tersebut wajib diperbaiki,” tegasnya.
Dijelaskannya bahwa kebijakan
perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan suatu kebijakan yang
berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Fungsi hutan yang kompleks mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam
ekonomi, sosial budaya, jasa lingkungan dengan menjaga sumber daya air,
hayati, perubahan iklim dan sebagainya, dibandingkan dengan kegiatan
lain seperti tambang yang hanya bernilai ekonomi saja.
Perencanaan
dan penyusunan kebijakan KLHS ini penting untuk mencegah terjadinya
tumpang tindihnya kebijakan yang seringkali terjadi selama ini. Menurut
Hariadi Kartodihardjo sebagai ahli kehutanan dari Institut Pertanian
Bogor (IPB), sekitar 60 persen kesalahan dalam pengelolaan sumber daya
hutan karena kebijakan bukan ulah perusahaan. Sehingga yang bisa
dilakukan yaitu harmonisasi Undang-Undang Tata Ruang, Kehutanan dan
Perda, penyelesaian administrasi legalitas pemanfaatan lahan dan hutan
serta klasifikasi data yang ada.
Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0383&ikey=1
Langganan:
Postingan (Atom)