Tim Redaksi
Terkait
dengan perubahan peruntukan kawasan hutan, yang merupakan bagian dari
perencanaan tata ruang, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan bahwa
untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan keselamatan
masyarakat, setiap perencanaan tata ruang wilayah wajib didasarkan pada
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan ditetapkan dengan
memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Demikian menurut Gusti Muhammad Hatta,
sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam sambutannya saat dialog
interaktif sebagai rangkaian peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5
Juni dengan tema “Hutan sebagai Penyangga Kehidupan” di Jakarta (3/6).
Sesuai
dengan apa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009, KLHS
adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif
untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi
dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program.
Hutan yang ada di wilayah Indonesia telah
mendapatkan tekanan dari berbagai kegiatan, temasuk kegiatan
pembangunan. Hal ini ditunjukkan dengan semakin luasnya hutan yang
mengalami perubahan fungsi maupun peruntukkan.
Menurut
data dari Statistik Kehutanan tahun 2008, laju deforestasi 7 (tujuh)
pulau besar, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa,
serta Bali dan Nusa Tenggara pada periode tahun 2000-2005 rata-rata
sebesar 1,09 juta hektar/tahun. Angka deforestasi hutan di dalam dan di
luar kawasan hutan pada periode 2003-2006 sebesar 1.174.068,0 hektar/tahun. Sementara itu, perubahan fungsi kawasan hutan sampai dengan tahun 2008 mencapai 3.200.463,07 hektar.
Dengan alasan
peningkatan pertumbuhan ekonomi, salah satu upaya yang seringkali
dilakukan adalah perubahan fungsi hutan untuk kegiatan lain yang dinilai
dapat memberikan pendapatan yang lebih besar, antara lain untuk
kegiatan perkebunan, pertambangan, permukiman atau pariwisata. Kegiatan peningkatan perekonomian tersebut seringkali menimbulkan masalah
perubahan fungsi lahan yang menabrak kawasan hutan terutama kawasan
konservasi, tumpang tindih perizinan penggunaan lahan, atau dampak
kerusakan lingkungan hidup.
“Tentunya
kita tidak bermaksud menghambat kegiatan pembangunan yang pada dasarnya
dilakukan untuk mensejahterakan masyarakat, namun kita perlu saling
mengingatkan, bahwa berdasarkan fungsinya, baik untuk tata air,
keseimbangan ekosistem maupun pengendali perubahan iklim, hutan perlu
kita lestarikan. Sehingga
kita perlu mengupayakan, agar kegiatan pembangunan yang kita jalankan
dapat selalu sinergi dengan pelestarian fungsi lingkungan hidup,” kata Gusti Muhammad Hatta.
Sony
Keraf sebagai ahli lingkungan hidup dan mantan Menteri Lingkungan
Hidup, mengatakan bahwa perangkat preventif diperlukan terhadap potensi
dampak negatif yang dapat timbul sebagai konsekuensi dari pembangunan. Potensi dampak negatif
dapat timbul tidak hanya dari kegiatan usaha, tetapi lebih jauh ke
hulu, dapat timbul dari kebijakan, rencana atau program yang
dikembangkan. Potensi dampak negatif itu harus dicegah sejak dari penyusunan kebijakan, rencana dan atau program.
Menurutnya, proses analisis KLHS dapat terintegrasi dalam proses analisis kegiatan penyusunan kebijakan itu sendiri. Sebagai
bagian dari proses perbaikan kebijakan dan perencanaan, KLHS dilakukan
oleh pembuat kebijakan itu sendiri, dengan melibatkan pemangku
kepentingan.
“Apabila hasil KLHS menunjukkan bahwa kebijakan, rencana dan atau program berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup, maka kebijakan, rencana dan atau program tersebut wajib diperbaiki,” tegasnya.
Dijelaskannya bahwa kebijakan
perubahan peruntukan kawasan hutan merupakan suatu kebijakan yang
berpotensi menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Fungsi hutan yang kompleks mempunyai nilai yang lebih tinggi dalam
ekonomi, sosial budaya, jasa lingkungan dengan menjaga sumber daya air,
hayati, perubahan iklim dan sebagainya, dibandingkan dengan kegiatan
lain seperti tambang yang hanya bernilai ekonomi saja.
Perencanaan
dan penyusunan kebijakan KLHS ini penting untuk mencegah terjadinya
tumpang tindihnya kebijakan yang seringkali terjadi selama ini. Menurut
Hariadi Kartodihardjo sebagai ahli kehutanan dari Institut Pertanian
Bogor (IPB), sekitar 60 persen kesalahan dalam pengelolaan sumber daya
hutan karena kebijakan bukan ulah perusahaan. Sehingga yang bisa
dilakukan yaitu harmonisasi Undang-Undang Tata Ruang, Kehutanan dan
Perda, penyelesaian administrasi legalitas pemanfaatan lahan dan hutan
serta klasifikasi data yang ada.
Sumber : http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0383&ikey=1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar